Seperti mematok palu untuk nasib sendiri "thur, inilah hidupmu, 3 tahun kedepan. Jadi karyawan". Yah, karyawan di ibukota, yang (katanya) hidupnya seperti mesin, pergi pagi, pulang petang, kerja untuk orang.
Oh bukan, bukan. Bukan bermaksud mengingkar nikmat, saya paham betul bahwa banyak saudara disana yang sulitnya bukan main demi untuk memperoleh pekerjaan.
Dulu, cita-citaku setinggi langit
Belasan tahun lalu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Sangat akrab dengan pertanyaan "kalau besar nanti, kelak mau jadi apa?" Polisi! Tentara! Pilot! Superman! Semua kujawab dengan lantang. Guru, ayah, emak, tak ada satupun yang berani menyela.
Hingga cita-cita itu rontok satu persatu. Prestasi juara bertahun-tahun di sekolah dasar tidak lagi membanggakan, iya. Saya selalu juara kelas, ketika di sekolah dasar, yang sekolahnya di kabupaten, yang muridnya tidak lebih dari 20sekian orang.
— yang ketika lulus SD, teman-teman sudah lalu lalang di depan rumah sambil menggendong anaknya.
Kemudian cita-cita itu menjadi setinggi bukit
Jangan tanya saya berapa jarak dari langit ke bukit. Nilai matematika fisika geografi kimia saya sungguh memilukan. Bersaing di sekolah negeri (kota) membuat saya sadar ternyata saya tidak cocok duduk di bangku akademik.
Orang-orang seperti ini yang cuma bisa meratap nasib melihat teman-teman sekelasnya sibuk memilih universitas yang mereka idamkan. Saya sendiri? Tidak ada pilihan, kuliah di PTN hanya angan-angan.
Kami-kami inilah yang biasanya rajin lari sore di masa-masa menjelang UN. Olahraga sedemikian gila, push up, sit up, renang, sampai segala hal menjaga kolestrol. Bermodalkan fisik yang atletis, saya percaya bisa menjadi perwira muda saat itu, tahun 2012.
— ternyata gagal. Disini saya paham betapa busuknya negara ini.
Ah, yang penting dapet kerja
Semangat itu masih berapi-api, saya bertekad untuk hidup merantau ke pulau jawa. Berada di kelas unggulan ketika SMA membuat saya begitu terpacu. Akan saya buktikan disini. Kalau saya juga bisa bersaing di kelas. Kalau saya juga bisa mendapatkan nilai yang tinggi.
Tapi semua itu hanya berkisar 3 bulan awal menjadi mahasiswa. Menghadiri kelas kuliah cuma jadi beban, 3 tahun lamanya. Hingga wisuda dan mendapat pekerjaan bermodalkan apa yang saya pelajari sendiri, bukan dari slide perkuliahan. Bahkan ijazah ini tidak saya lampirkan di surat lamaran.
— hidup tak segampang omongan motivator MLM. Saya pun memulai hidup menjadi karyawan.
Lah, pergi kemana cita-cita mulia saya 3 tahun lalu?
Bukan saya mengatakan bahwa kuliah itu percuma. Saya beruntung bisa mengenyam pendidikan disini, hidup merantau di ibukota membuat saya paham bahwa ternyata cita cita itu bukan polisi dan tentara saja, bukan hanya pilot dan dokter saja.
Tapi kuliah tidak punya jawaban atas pertanyaan saya. Untuk apa saya harus memahami semua mata kuliah yang membosankan itu? Kuliah tidak memberikan apa yang saya cari.
— ini menjadi jawaban ketika emak menanyakan "kenapa kau tinggalkan program ekstensimu yang biaya daftarnya 12 juta itu?"
Ternyata, yang kemarin itu hanya angan-angan
Cita-cita itu bukan lenyap dan sirna, justru sebenarnya ada dan yang dulu itu hanya angan-angan belaka. Karena cita-cita saya tidak hanya sebaris kalimat atau bahkan cuma sebuah kata; pilot, dokter, tentara, apalah.
Saya mendambakan hidup di desa, yang bebas dari kemacetan, bekerja dari rumah. Sembari ditemani istri dan melihat anak-anak bermain di halaman. Mengelola badan pelatihan bersama orang-orang yang saya sayangi, dan seterusnya, dan seterusnya. *mari tepuk tangan
Rencana yang terlupakan
Dulu menargetkan cukuplah 1-2 tahun menjadi karyawan. Lalu pulang ke kampung halaman memulai bisnis kecil-kecilan. Ada banyak sekali hal yang bisa dikerjakan di kampung sana. Tapi, tapi tapii..... hidup memang tak seindah perkataan mario teguh.
Terlihat jelas kegagalan itu. 2 tahun saya begitu terlena di zona nyaman. Hingga sesuatu mengingatkan saya akan rencana yang dulu pernah dibuat. Ah, aku harus keluar dari tempat ini.
Saya ini anak yang hampir selalu punya keputusan matang, tidak bisa diganggu gugat, oleh siapapun. Namun saat itu, seperti saya tidak punya jawaban atas pertanyaan keluarga di rumah, "cemana kau disana? udah bisa lah pulang ke kampung, kerja disini aja".
3 tahun kedepan, saya masih jadi karyawan
Batin ini seperti terpelatuk, saya ini seperti tidak ada peningkatan skill. Seperti merasa belum cukup bekal untuk pulang, saya belum punya kesiapan untuk memulai rencana-rencana itu. Rasanya ingin menghakimi diri sendiri "ah ngapain saja 2 tahun lamanya!!"
Nampak betul diri ini begitu naif mendambakan kehidupan ini itu di masa depan, sedang masa muda masih sering saya habiskan untuk berleha-leha dan bersantai-santai.
Tidak ada pilihan lagi selain melanjut hidup, menjadi karyawan. Sayangnya tipikal tempat kerja yang saya inginkan dan butuhkan saat ini memiliki kebijakan khusus, keterikatan perjanjian kerja, yang tidak sebentar. Saya tidak ingin tua disini.
Nampak betul diri ini begitu naif mendambakan kehidupan ini itu di masa depan, sedang masa muda masih sering saya habiskan untuk berleha-leha dan bersantai-santai.
Tidak ada pilihan lagi selain melanjut hidup, menjadi karyawan. Sayangnya tipikal tempat kerja yang saya inginkan dan butuhkan saat ini memiliki kebijakan khusus, keterikatan perjanjian kerja, yang tidak sebentar. Saya tidak ingin tua disini.
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
(Menjadi Tua di Jakarta- Seno Gumira Ajidarma)
— Tak terasa usia ini terus bertambah, dan harus segera menikah, sedang aku ini akan tetap menjadi karyawan, hingga 3 tahun kedepan.
0 comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak